Tantangan Mental Health di Era Milenial: Cyberbullying
Kesehatan mental atau
kesehatan jiwa merupakan aspek penting dalam
mewujudkan kesehatan secara menyeluruh. Kesehatan mental juga
penting diperhatikan selayaknya kesehatan fisik. Namun, sayangnya banyak orang yang
tidak sadar akan pentingnya kesehatan mental. Kesehatan mental masih dianggap
remeh sehingga tidak heran bila banyak orang yang memiliki masalah dengan
kesehatan mentalnya diabaikan. Masyarakat Indonesia masih memberi stigma yang
uruk terhadap isu-isu kesehatan mental.
Gangguan mental tidak hanya terjadi pada orang dewasa
yang sudah bekerja atau sudah berkeluarga. Nyatanya, kasus masalah kesehatan
mental juga banyak terjadi pada kaum remaja. Menurut data Riset Kesehatan Dasar
Kementerian Kesehatan 2018, prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk
usia 15 tahun keatas meningkat dari 6,1% pada tahun 2013 menjadi 9,8 % pada
2018. Artinya, sekitar 12 juta penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas
menderita depresi.
Fakta ini berkaitan erat dengan semakin meningkatnya
jumlah pengguna media sosial. Penelitian yang berjudul “A Tool to Help
or Harm? Online Social Media Use and Adult Mental Health in Indonesia” dalam International
Journal of Mental Health and Addiction menyebutkan bahwa penggunaan
media sosial yang berlebihan berbahaya bagi kesehatan mental karena dapat
menyebabkan depresi. Peningkatan penggunaan media sosial dikaitkan dengan
peningkatan skor Center for Epidemiological Studies Depression/CES-D
atau skala depresi pada seseorang sebesar 9%.
Depresi yang terjadi akibat penggunaan media sosial
disebabkan oleh adanya kasus cyberbullying.
Cyberbullying merupakan istilah yang
merujuk pada perilaku sosial bullying yang terjadi secara online seperti agresi
online, pelecehan, dan agresi penyerangan terhadap individu secara elektronik.
Cyberbullying yang dimaksud mencakup
komentar negatif pada postingan tertentu, pesan personal tak bersahabat, serta
menyebarkan postingan atau profil akun media sosial tertentu dengan cara
mengolok-olok.
Di Indonesia, cyberbullying
telah menjadi hal yang tidak asing. Penelitian UNICEF (2016), menemukan
sebanyak 50% dari 41 remaja di Indonesia dalam kisaran usia 13 sampai 15 tahun
telah mengalami tindakan cyberbullying.
Beberapa tindakan tersebut adalah mempublikasikan data pribadi orang lain, stalker atau menguntit (penguntitan di
dunia maya yang mengakibatkan penguntitan di dunia nyata), dan balas dendam
berupa penyebaran foto atau video yang ditambah dengan tindakan intimidasi dan
pemerasan.
Perilaku cyberbullying
dan tradisional bullying (perilaku
bullying di lingkungan sekolah) memiliki beberapa kesamaan. Namun, pada
kenyataannya, telah dampak negatif cyberbullying
lebih parah daripada tradisional bullying.
Dalam cyberbullying seseorang sangat
mudah untuk membuat identitas palsu atau yang lebih dikenal dengan anonymous. Anonymous mengincar seseorang yang ia sendiri tidak tahu siapa
orang tersebut. Di sisi lain, mereka sulit untuk dikenali dan dilacak sehingga
mereka dengan leluasa melakukan bullying di dunia maya yang tidak terbatas
ruang lingkupnya. Selain itu, pelaku
cyberbullying tidak dapat melihat reaksi langsung korban sehingga mengurangi
rasa empati terhadap korban.
Cyberbullying dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internal muncul dari diri pelaku, yaitu kepribadian pelaku
yang cenderung dominan, kurang empati pada orang lain, suka kekerasan, tidak
berani mengambil risiko dan suka mencari sensasi. Sementara itu, faktor
eksternal muncul dari lingkungan sekitar pelaku, yaitu lingkungan keluarga,
sekolah dan teman sebaya. Keluarga yang tidak harmonis, orang tua kurang
perhatian, cenderung dominan dan sering melakukan kekerasan dalam mendidik anak
atau dalam mengatasi permasalahan, cenderung menyebabkan anak untuk melakukan
tindakan apapun (termasuk melakukan bullying) agar dirinya diperhatikan dan
diakui. Demikian halnya dengan lingkungan sekolah yang kurang kondusif juga
menyebabkan anak menjadi pelaku bullying.
Namun, pada beberapa kasus, cyberbullying juga memiliki motif tertentu. diantaranya perasaan
marah dan sakit hati sehingga ingin membalas dendam pada orang lain, merasa
jenuh karena tidak memiliki kegiatan dan menganggur, iseng dan perasaan takut
pelaku untuk berhadapan langsung dengan korban. Ditambah lagi, kecanggihan
teknologi pada era globalisasi yang menyediakan ruang untuk memberikan pendapat
serta mengizinkan orang untuk menggunakan akun tak bernama sangat memungkinkan
terjadinya cyberbullying. Kecepatan
hitungan detik informasi dipublikasikan, disebar, dan dibaca oleh orang juga
menjadikan pemicu maraknya cyberbullying.
Bullying di dunia maya memberikan dampak yang serius terhadap
keadaan emosional dan sosial remaja. Para korban cyberbullying akan mengalami jatuh mental karena merasa
dipermalukan, stress dan depresi berkepanjangan. Selain itu, para korban ini
mungkin akan merasa sakit hati dan dapat berpotensi menjadi pelaku cyberbullying sebagai balas dendam. Bahkan,
korban yang tidak bisa menghadapi tekanan yang ia alami dengan baik akan mengalami
gangguan kesehatan, prestasinya menurun, dan bisa sampai melakukan tindakan
kriminal. Mereka juga akan mengalami perubahan kondisi psikis seperti agresif, kecewa
dengan diri sendiri, bertemperamen tinggi, kehilangan semangat hidup, dan gelisah.
Kasus cyberbullying
ini tentu tidak bisa dibiarkan dan harus segera diatasi. Penyelesaian masalah
ini membutuhkan peran dari orang tua, guru/dosen dan pemerintah. Orang tua
diharapkan bisa menciptakan kondisi keluarga yang harmonis dan kondusif bagi
tumbuh dan kembangnya anak, mengawasi pergaulan sosial anak, memberi
penghargaan terhadap apa yang anak lakukan dengan memberi pujian sehingga anak
merasa dihargai, sering meluangkan waktu bersama anak, dan membangun komunikasi
yang baik dan terbuka. Sementara itu,
guru dapat memberikan arahan kepada siswa tentang bagaimana cara menggunakan
internet yang positif, meningkatkan kinerja guru bimbingan konseling, dan
mengikutsertakan siswa dalam kegiatan-kegiatan positif. Selanjutnya, pemerintah
dapat mengadakan penyuluhan tentang cara menanggulangi cyberbullying dan penggunaan internet secara sehat terhadap
orangtua dan guru, meningkatkan kemampuan dan peran serta pekerja sosial dalam
pendampingan korban cyberbullying, dan
membuat perangkat hukum/perundang-undangan yang komprehensif dalam rangka
melindungi korban dan memberikan efek jera bagi pelaku cyberbullying.
Sumber:
Syah, R., Istiana,
H. 2018. ‘Upaya Pencegahan Kasus Cyberbullying bagi Remaja Pengguna Media
Sosial di Indonesia’, Jurnal PKS, vol.
17, no. 2, hh.131 – 146.
Fakultas
Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada.
2020. Menjawab Tantangan Kesehatan Mental di Era Milenial. https://fk.ugm.ac.id/menjawab-tantangan-kesehatan-mental-di-era-milenial/
diakses pada 5 Oktober 2020 (15:59).
Komentar
Posting Komentar