Praktik Penyuluhan Kesehatan dan Swamedikasi Penyakit Saluran Pernapasan
Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi atau radang di paru-paru yang disebabkan oleh infeksi jamur, virus,
atau bakteri, tetapi paling sering disebabkan oleh streptococcus pneumoniae. Sebanyak 800
ribu balita meninggal tiap tahun karena penyakit ini. Klasifikasi pneumonia dibagi berdasarkan
lokasi infeksi dan mikroorganisme penyebab. Uraian terkait klasifikasi ini dapat dilihat sebagai
berikut.
Berdasar lokasi terinfeksi:
1. Community acquired pneumonia: pasien terinfeksi di luar rumah sakit, seperti di rumah
atau sekolah
2. Hospital acquired pneumonia: pasien terinfeksi 48 jam setelah melakukan prosedur
medis di rumah sakit
3. Ventilator associated pneumonia: pasien terinfeksi setelah melakukan terapi ventilasi
mekanik, seperti alat bantu O2
4. Health care pneumonia: terjadi pada pasien yang berada dalam kondisi sehat
5. Childhood pneumonia: terjadi pada anak berumur < 17 thn
6. Walking pneumonia: pneumonia yang tidak mengganggu aktivitas
Berdasar mikroorganisme:
1. Bakteri: streptococcus pneumoniae
2. Virus: influenza
3. Mikroplasma
4. Jamur (kasusnya sedikit)
Gejala pneumonia yaitu batuk, pilek, demam, nyeri dada, sesak, ronkhi, dan ingusan.
Prinsip terapi:
1. Eliminasi mikroorganisme dengan antibiotik
2. Terapi suportif dengan oksigen, cairan iv mencegah dehidrasi, atau antipiretik untuk
demam
3. Obat penekan batuk tidak dianjurkan karena tidak membunuh bakteri
4. Pasien tidak harus selalu rawat inap kalau gejalanya tidak mengganggu aktivitas. Kalau
gejala sudah parah (ada distress pernapasan, gabisa bernapas dengan lega, saturasi O2< 92%) bisa rawat inap di rumah sakit
Terapi farmakologi:
1. Untuk pasien rawat jalan usia < 5 tahun: amoksisilin atau amoksisilin klavulanat, kalau
alergi amoksisilin bisa menggunakan antibiotik sefalosporin
2. Untuk pasien rawat jalan usia > 5 thn: amoksisilin atau amoksisilin klavulanat
3. Untuk pasien pneumonia atipikal: azitromisin/klaritromisin
4. Untuk pasien rawat inap: ampisilin, seftriakson, vakomisin
Terapi non farmakologi:
1. Menerapkan etika batuk
2. Istirahat yang cukup
3. Menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
4. Membiasakan posisi yang nyaman untuk bernapas (tegak)
5. Menggunakan tempat tidur yang dapat berotasi lateral untuk meningkatkan drainase
6. Kalau sesak bisa menggunakan inhalasi sederhana dengan menghirup uap air mendidih
yang dicampur aromaterap
7. Memperbaiki nutrisi
Pencegahan pneumonia dapat dilakukan dengan imunisasi PCV, pencegahan penularan (jaga
jarak, memakai masker, etika batuk), perbaikan gizi, dan penerapan PHBS (cuci tangan setelah
beraktivitas, memakai masker, etika bersin yang benar, dan aktivitas fisik yg cukup)
Asma
Pasien mengalami asma sudah sejak SMP, kambuh jika terkena debu atau bau yang menusuk.
Obatnya yaitu ventolin inhaler dan teosal satu strip isinya 10 tablet. Untuk teosal diminum 3 kali
sehari untuk mencegah kekambuhan, sedangkan untuk ventolin inhalernya ini digunakan saat
terjadi serangan asma saja. Efek samping kedua obat ini kurang lebih sama yaitu sakit kepala
dan peningkatan denyut jantung. Obat disimpan di tempat kering dan tidak boleh terkena sinar
matahari langsung. Kedua obat ini sama-sama mengandung salbutamol (SABA), sedangkan
pada teosal terdapat tambahan kandungan teofilin (derivat xanthine golongan LABA). Maka dari
itu, Ventosal merupakan reliever dengan kerja cepat untuk meredakan gejala asma saat
kambuh, sedangakan teosal/teofilin merupakan controller. Teosal tidak boleh diberikan karena
termasuk obat keras dan bukan OWA. Namun, boleh diberikan berdasarkan PMR dan maksimal
hanya dua strip. Dalam kasus ini, pasien bisa hanya diberi ventolin inhaler (tidak perlu teosal)
dan dilakukan pencatatan (PMR). Pasien mengalami asma intermiten karena pasien masih bisa
beraktivitas seperti biasa, hanya kambuh karena ada pemicu. Cara penggunaan inhaler yaitu:
1. Pasien harus berdir/duduk tegak
2. Inhaler dikocok 5 detik, tutupnya dibuka dan mulutnya dilap dengan tisu
3. Pasien mendongak
4. Mulut inhaler diletakkan pada mulut pasien
5. Inhaler ditekan 1x sambil dihirup dan tahan napas 10 detik6. Inhaler dilepas dan ditutup kembali lalu dibersihkan
7. Jarak antara semprotan pertama dan kedua kurang lebih 1-2 menit.
Covid
Pasien mengalami gejala tidak enak badan, demam, dan batuk. Hasil pemeriksaan swab
antigen COVID menunjukkan pasien positif terkena COVID-19. Maka dari itu, pasien melakukan
isolasi mandiri dan berkonsultasi dengan dokter dan apoteker melalui telemedicine. Obat yang
diresepkan dokter yaitu Favipiravir, Vitamin C, Vitamin D, Zinc, dan N-Asetilsistein. Favipiravir ini
merupakan obat antivirus, pada hari pertama diminum 2 kali sehari dengan dosis 1600 mg yaitu
pada pukul 7 pagi setelah sarapan dan pukul 7 malam setelah makan malam. Untuk hari
selanjutnya hingga hari kelima juga sama jadwalnya, tetapi dosisnya dikurangi menjadi 600 mg.
N-asetilsistein 600 mg untuk melancarkan dahak diminum 2x1 pukul 7 pagi setelah sarapan dan
jam 7 malam setelah makan malam. Vitamin C 500 mg diminum 2x1 setelah makan pagi,
suplemen vitamin D 1000 IU diminum 1x1 setelah sarapan, dan zinc 20 mg diminum 1x1 setelah
sarapan. Cara minumnya untuk N-asetilsistein dimasukkan ke air 200 mL dalam gelas dan untuk
vitamin C tidak perlu dengan air karena merupakan tablet hisap. Obat lainnya diminum dengan
air. Selain obat dari resep dokter, pasien disarankan untuk minum paracetamol 3x1 untuk
demamnya. Selain obat-obatan, pasien juga disarankan untuk rutin berjemur selama 10-15
menit saat pagi, mengukur suhu badan pagi dan malam tiap 2 hari, dan memakai masker medis
saat bertemu orang lain. Selain itu, pasien diketahui juga memiliki riwayat hipertensi dan
mengkonsumsi amlodipin. Obat ini bisa tetap dilanjutkan dan kondisi hipertensi harus dimonitor
selalu rutin. Selama di rumah, pasien disarankan untuk melakukan pemantauan mandiri terkait
tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen.
N-asetilsistein dosis tinggi digunakan sebagai antioksidan pada pasien CKD untuk mencegah
keparahan penyakit. Sedangkan pada pasien, N-asetilsistein digunakan untuk mengatasi
batuknya sehingga digunakan dosis rendah saja yaitu 600 mg sehari. Lalu, untuk pasien covid
N-asetilsistein dapat diberikan dalam bentuk kapsul saja sehingga diminum dengan air saja
(tidak perlu dimasukkan air seperti effervescent).
Salesma
Pasien mengeluh pilek, bersin, lemas, demam, dan sakit tenggorokan. Pasien ingin membeli
amoxicilin dan obat alegi atas saran dari teman dan belum ke dokter. Namun, berdasarkan gejala
tersebut, pasien hanya mengalami salesma dan tidak ada alergi sehingga tidak perlu antibiotik
amoxicilin dan obat alergi. Penyebabnya yaitu rhinovirus. Penyakit ini sebenarnya dapat sembuh
sendiri dengan istirahat. Namun, karena pasien memiliki kesibukan/pekerjaan, maka pasien dapat
diberi obat untuk meredakan gejalanya, yaitu demacolin 1 strip (10 tablet) yang berisi paracetamol,
pseudoefedrin, dan ctm. Obat ini diminum 3x sehari setelah makan, dengan air putih dan tidak
dengan makanan karena makanan dapat menurunkan penyerapan obat. Efek sampingnya yaitu
mual, muntah, dan mengantuk, tetapi tidak semua orang mengalami. Namun, jika ternyata muncul
efek samping dan tidak reda dalam 3 hari maka bisa periksa ke dokter. Sedangkan gejala sakit
tenggorokan dapat diberi obat degirol atau dengan terapi non farmakologi seperti minum air
hangat. Salesma biasanya sembuh dalam 7-10 hari. Jika demam semakin tinggi dan ada nyeri
otot, maka bisa periksa ke dokter. Selain itu, pasien disarankan untuk banyak istirahat, banyak
minum air putih, mengatur suhu ruangan, dan memakai jaket jika berada pada ruang yang dingin.
Terkait riwayat obat dan obat yang diminta pasien, amoxicilin tidak diberikan karena belum
diketahui dengan jelas apakah penyebab kondisi pasien tersebut dari bakteri atau tidak. Obat alegi
juga tidak diberikan karena kandungannya yaitu dexametason dapat menurunkan imunitas tubuh
dan risiko efek sampingnya lebih besar daripada manfaatnya. Paracetamol dapat dihentikan,
tetapi renovit bisa tetap dilanjutkan sebagai vitamin.
RA
Pasien mengeluh bersin berulang, hidung gatal, keluar lendir/cairan bening selama bertahun tahun. Gejala kambuh ketika pasien terkena debu, saat pagi hari setelah bangun tidur, atau saat
cuaca dingin. Gejala yang dirasakan tersebut merupakan bentuk respons tubuh sebagai
perlindungan diri dari adanya alergen seperti debu, udara dingin, serbuk sari, dan bulu hewan.
Pasien sudah minum demacolin. Demacolin perlu diganti karena terdapat kandungan paracetamol
sedangkan pasien tidak mengalami demam serta merupakan antihistamin golongan pertama
dengan efek sedasi yang kuat sehingga lebih baik diubah. Karena gejala pasien sudah
berlangsung lama dan mengganggu aktivitasnya, maka pasien diberi kortikosteroid intranasal
seperti fluticasone atau karena obat tersebut bukan Obat Wajib Apotek (OWA), maka dapat diganti
dengan nasal spray/dekongestan intranasal selama 2-4 minggu. Jika terdapat perbaikan gejala,
maka dapat dengan antihistamin golongan kedua yang efek mengantuknya lebih lemah yaitu
cetirizine 10 mg 1x sehari hingga 3 hari. Namun, jika tidak ada perbaikan gejala, maka pasien
dapat periksa ke dokter. Selain itu, pasien disarankan untuk menghindari alergen, menggunakan
jaket saat cuaca dingin, banyak istirahat, dan banyak minum.
Berdasarkan lama gejala, rhinitis alergi intermiten (< 4 hari/minggu hingga 4 minggu) dan persisten
(>4 hari/minggu hingga lebih dari 4 minggu). Berdasarkan keparahan gejala: ringan, sedang,
berat. Gejala sedang hingga berat itu ketika gejalanya mengganggu aktivitas, dapat diobati
dengan kortikosteroid intranasal
Komentar
Posting Komentar