Praktik Penyuluhan Kesehatan Penyakit Saluran Pencernaan

 A. Irritable Bowel Disease

Definisi 

Irritable Bowel Syndrome merupakan penyakit dengan kumpulan gejala akibat iritasi pada saluran pencernaan (Atmaja, 2022), iritasi tersebut menyebabkan gangguan pencernaan fungsional berulang yang berhubungan dengan defekasi atau perubahan pola buang air, bisa berupa sembelit, diare atau kombinasi keduanya (Shalim, 2019). Gejala umum dari IBS yaitu kram perut, diare, kembung dan sembelit. Penyakit ini rentan terhadap seseorang yang berusia dibawah 50 tahun (Atmaja, 2022).

Penyebab 

Penyebab pasti dari IBS belum diketahui, tetapi terdapat faktor yang saling mendukung untuk menimbulkan IBS. Beberapa faktor tersebut dijelaskan di dalam buku karangan Wibowo et al., (2021) sebagai berikut. 

1. Gangguan keseimbangan mikrobiota saluran cerna 

Kondisi mikrobiota yang seimbang dalam saluran cerna dapat menjaga fungsi saluran cerna. Gangguan keseimbangan mikrobiota disebut dengan disbiosis usus yang dapat menimbulkan peningkatan adhesi patogen usus pada mukosa saluran cerna, gangguan fermentasi di kolon, dan gangguan ekosistem bakteri usus. Gangguan keseimbangan mikrobiota dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti perubahan pola diet yang mendadak maupun konsumsi makanan yang terkontaminasi patogen. 

2. Hipersensitivitas viseral (HV) 

HV merupakan kondisi rendahnya ambang persepsi terhadap berbagai stimulus yang berasal dari saluran cerna. HV merupakan mekanisme utama yang mendasari munculnya gejala nyeri perut pada IBS. HV disebabkan oleh sensitisasi saraf tepi saluran cerna yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya aktivasi respon imun oleh patogen mikrobiota, menyebabkan reaksi inflamasi pada dinding saluran cerna, kekakuan saraf dalam membentuk stimulus, gangguan fungsi sel enteroendokrin penghasil serotonin. 

3. Intoleransi makanan 

Intoleransi makanan merupakan reaksi non-imunologis terhadap suatu jenis makanan, yang berbeda dengan alergi makanan. Contoh pada kasus intoleransi laktosa, terjadi kemarahan abnormal terhadap laktosa, yang membentuk banyak gas dan metabolit toksik, seperti alkohol, asam dan keton Metabolit ini dapat merusak mukosa saluran cerna dan menginduksi percepatan pertumbuhan bakteri patogen. Mekanisme ini juga terkait dengan

perikanan mikrobiota usus, seperti yang tertera sebelumnya. Selain itu, intoleransi makanan meningkatkan tekanan osmotik pada usus, sehingga sekresi cairan pada saluran cerna meningkat dan dapat menyebabkan diare. 

4. Stres psikososial 

Kondisi stres akan mengaktivasi sel mast pada mukosa saluran cerna, membentuk sitokin pro-inflamasi yang menimbulkan keradangan pada usus, dan mengaktivasi saraf simpatis yang menimbulkan penyempitan pembuluh darah intestinal sehingga merusak dinding epitel saluran cerna dan menimbulkan manifestasi klinis IBS. 

5. Gangguan motilitas saluran cerna 

Gangguan motilitas usus dapat menyebabkan berbagai gejala pada IBS, sepeerti konstipasi (kesulitan buang air besar), mual, diare, hingga nyeri perut. Gangguan motilitas saluran cerna salah satunya disebabkan oleh kondisi stres. 

Gejala 

Pasien dengan IBS ( Irritable Bowel Syndrome) akan mengalami nyeri pada abdominal atau ketidaknyamanan yang menjadi lega setelah melakukan defekasi. Onset gejala dihubungkan dengan perubahan atau tampilan dari feses. Beberapa pasien memiliki feses dengan konsistensi yang kering dan padat, sedangkan pasien yang lain memiliki feses yang encer dan berair. Gejala pada IBS dapat dikategorikan juga berdasarkan IBS-D atau IBS-C. Pasien dengan IBS-D akan mengalami defekasi dengan konsistensi encer dan berair tiga kali sehari. Pasien IBS-C akan mengalami pergerakan bowel yang kurang dari tiga kali seminggu dengan karakteristik feses yang keras dan perlu usaha berupa mengejan. Gejala lainnya yang kemungkinan timbul adalah defekasi terasa tidak tuntas, kembung, abdominal terasa penuh, feses keluar dengan mukus yang berwarna putih atau bening, dan Inkontinensia feses sesekali (Chisholm-Burns et al., 2022)

Yang harus dilakukan jika mengalami gejala 

Apabila gejala yang muncul seperti sakit perut, diare, perut kembung maupun perubahan BAB yang dirasa sudah cukup parah dengan frekuensi yang sering sebaiknya periksakan diri ke dokter untuk mendapatkan penanganan yang lebih tepat. Langkah pertama yang bisa dilakukan apabila sudah terjadi gejala meskipun hilang timbul yakni dengan mengubah pola makan. Untuk IBS dengan gejala konstipasi dapat rutin mengkonsumsi sayur, buah, dan mineral. Sedangkan untuk IBS dengan gejala diare dapat mengurangi asupan serat dan makanan yang mengandung laktosa (Paduano et al, 2019) 

Cara mencegah 

Pencegahan utama IBS dilakukan dengan mengubah gaya hidup dan pola makan. Beberapa jenis makanan atau minuman dapat memicu timbulnya gejala IBS. Makanan atau minuman itu antara lain, kafein, cokelat, produk susu, dan berlemak tinggi. Makanan yang dapat menghasilkan gas, seperti soda dan beberapa jenis sayuran misalnya, kol. Jenis-jenis makanan atau minuman ini memicu perubahan pada kontraktilitas usus besar sehingga perlu dihindari atau dikurangi konsumsinya. Salah satu faktor pemicu IBS adalah stres. Perlu dilakukan manajemen stres pada setiap individu dengan baik untuk mengurangi kejadian IBS. Pola hidup sehat seperti, mencuci tangan juga dianjurkan untuk mencegah kejadian IBS karena salah satu faktor risiko IBS adalah karena adanya infeksi pada saluran cerna (Selina, Darwis, & Grahati, 2019). 

Cara mengobati 

Pendekatan pengobatan untuk IBS didasarkan pada gejala utama dan tingkat keparahannya. Pilihan terapi farmakologi untuk IBS dapat dijelaskan sebagai berikut. 

a. Terapi Farmakologi IBS-D 

1. Loperamide 

Loperamide pada pasien IBS dapat memperbaiki konsistensi feses dan frekuensi BAB tetapi tidak memiliki efek terhadap dalam mengurangi nyeri dan gejala abdomen lainnya. Loperamide juga berkaitan dengan konstipasi sehingga sebaiknya dimulai dengan dosis rendah yaitu 1-2 mg/hari (Shalim, 2019). 

2. Ondansetron 

Di Indonesia, ondansetron sebagai antagonis 5-HT3 dapat dipertimbangkan meskipun potensinya lebih rendah dibandingkan alosetron. Pemakaian ondansetron (4-8 mg sebanyak 1-3 kali per hari) dalam suatu penelitian menunjukkan perbaikan konsistensi feses, gejala IBS, frekuensi BAB, dan rasa kembung, namun tidak memiliki pengaruh bermakna pada rasa nyeri (Shalim, 2019). 

3. Antidepresan 

Antidepresan makin banyak digunakan pada pasien IBS sedang hingga berat karena efeknya pada persepsi nyeri, mood, dan motilitas usus. Antidepresan trisiklik (TCA) dosis rendah dianggap efektif. Amitriptilin 10 mg tiap malam dapat menurunkan frekuensi BAB dan rasa tidak tuntas saat BAB (Shalim, 2019). 

4. Antispasmodik 

Beberapa antispasmodik seperti hyoscine, cimetropium, pinaverium, otilonium, drotaverine, dan dicyclomine, disarankan oleh American College of Gastroenterology untuk meringankan gejala IBS. Efek samping yang paling umum ditemui adalah mulut terasa kering, pusing, dan pandangan kabur. 

Minyak peppermint memiliki sifat menghambat kanal kalsium, sehingga dikategorikan juga sebagai antispasmodik. Beberapa penelitian menunjukkan minyak peppermint bermanfaat bagi beberapa pasien IBS (Shalim, 2019). 

b. Terapi Farmakologi IBS-C 

1. Laksatif PEG 

Laksatif osmotik seperti Polyethylene glycol (PEG) merupakan terapi lini pertama pada IBS-C. Pemberian PEG bertujuan untuk memperbaiki konstipasi dengan meningkatkan frekuensi BAB dan memperbaiki konsistensi feses. Akan tetapi, PEG tidak dapat memberikan perubahan bermakna terhadap keluhan nyeri abdomen

dan rasa kembung. Dosis awal pemberian PEG adalah 17 gram/hari dengan peningkatan dosis tergantung respon klinis (Shalim, 2019). 2. Linaclotide 

Linaclotide direkomendasikan untuk terapi IBS-C apabila gejala IBS-C tidak dapat dikendalikan dengan modifikasi gaya hidup saja (Dipiro et. al., 2020). Linaclotide dapat memberikan perbaikan gejala melalui mekanisme meningkatkan sekresi klorida usus melalui regulator konduktansi transmembran fibrosis kistik yang mengurangi tercetusnya serabut nyeri aferen viseral. Dosis Linaclotide yang disetujui FDA yaitu 290 μg sekali sehari dan harus dikonsumsi 30-60 menit sebelum sarapan guna mengurangi risiko efek samping berupa diare (Shalim, 2019). 

3. Lubiprostone 

Lubiprostone adalah aktivator kanal klorida yang meningkatkan sekresi cairan usus yang kaya klorida. Dosis Lubiprostone untuk IBS adalah 8 μg dua kali sehari dan pada konstipasi 24 μg. Efek samping utama yang sering terjadi adalah mual, tetapi tidak ada efek samping berat pada pemakaian jangka pendek. Saat ini, Lubiprostone merupakan terapi paling baik untuk pasien wanita IBS dan konstipasi berat yang tidak membaik dengan terapi lain (Shalim, 2019).

Irritable bowel syndrome (IBS) merupakan iritasi pada saluran pencernaan yang menyebabkan
gangguan perubahan buang air. Gejala yang biasa terjadi antara lain kurang nafsu makan,
kram/nyeri perut, kembung, sembelit, dan BAB cair/diare. Gejala IBS ini memang sangat umumsehingga pasien tidak boleh mendiagnosa diri sendiri ketika mengalami gejala tersebut dan
disarankan untuk memeriksakan diri ke dokter. Patofisiologi IBS belum jelas dan penyebabnya
multifaktor, bisa karena faktor lingkungan, keturunan, atau psikososial. Oleh karena itu, penyakit
ini seringkali tidak disadari oleh masyarakat. Pencegahan utama untuk penyakit ini yaitu dengan
cara mengubah pola makan dan pola hidup. Untuk pola makan, disarankan untuk mengurangi
konsumsi sayur yang bisa membuat kembung seperti kol serta mengurangi konsumsi minuman
bersoda dan kopi. Untuk pola hidup, disarankan untuk jalan pagi dan aktif melakukan pekerjaan
rumah. Terapi farmakologi yang digunakan untuk mengatasi IBS ada empat, yaitu laksatif jika
muncul gejala konstipasi (susah buang air besar dan feses keras), antidiare jika ada gejala diare,
antispasmodic jika perut kembung, dan antidepresan jika gejala yang dirasakan mengganggu
aktivitas dan membuat stres. Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan yaitu meningkatkan
konsumsi serat, diet bebas gluten (makanan berbasis tepung), meningkatkan konsumsi probiotik
seperti yoghurt, dan terapi psikologis untuk manajemen stres dan kecemasan.


B. Diare

Definisi
Diare adalah peningkatan frekuensi dan penurunan konsistensi tinja dibandingkan dengan pola usus normal seseorang. Frekuensi dan konsistensi bervariasi di dalam dan di antara individu. Sebagai contoh, beberapa individu buang air besar sebanyak tiga kali per hari, sedangkan yang lain hanya buang air besar dua atau tiga kali per minggu. Diet berat biasanya menghasilkan feses harian dengan berat antara 100 dan 300 g, tergantung pada jumlah bahan yang tidak dapat diserap (terutama karbohidrat) yang dikonsumsi. Pasien dengan diare serius mungkin memiliki berat tinja setiap hari lebih dari 300 g; namun, sebagian pasien sering mengalami saluran air kecil dan berair. Selain itu, pola makan kaya serat nabati, seperti yang dikonsumsi di beberapa budaya Timur (misalnya, di Afrika), menghasilkan feses dengan berat lebih dari 300 g/hari (Dipiro dkk., 2020). 
Diare seringkali merupakan gejala penyakit sistemik. Diare akut biasanya didefinisikan dengan durasi kurang dari 14 hari, diare persisten dengan durasi lebih dari 14 hari, dan diare kronis dengan durasi lebih dari 30 hari. Diare mungkin berhubungan dengan penyakit usus tertentu atau sekunder akibat penyakit di luar usus. Misalnya, disentri basiler langsung mempengaruhi usus, sedangkan diabetes melitus menyebabkan episode diare neuropatik. Selain itu, diare dapat dianggap sebagai penyakit akut atau kronis. Diare infeksi sering bersifat akut; diare diabetik bersifat kronis. Kelainan bawaan pada mekanisme transpor ion GI merupakan penyebab lain diare kronis (Dipiro dkk., 2020). 
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2011), derajat dehidrasi dibagi dalam 3 klasifikasi, yaitu: 
1. Diare tanpa dehidrasi 
Tanda diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih: a. Keadaan umum : Baik 
b. Mata : Normal 
c. Rasa haus : Normal, minum biasa
d. Turgor kulit : Kembali cepat 
2. Diare dehidrasi ringan/sedang 
Tanda diare dehidrasi ringan/sedang, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih: 
a. Keadaan umum : Gelisah, rewel 
b. Mata : Cekung 
c. Rasa haus : Haus, ingin minum banyak 
d. Turgor kulit : Kembali lambat 
3. Diare dehidrasi berat 
Tanda diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih: a. Keadaan umum : Lesu, lunglai, atau tidak sadar 
b. Mata : Cekung 
c. Rasa haus : Tidak bisa minum atau malas minum 
d. Turgor kulit : Kembali sangat lambat (lebih dari 2 detik) 

Terapi

1. Farmakologi 
Terapi farmakologi merupakan terapi yang menggunakan pendekatan obat-obatan sesuai dengan penyakit yang dialami. Obat-obatan yang digunakan pada diare biasanya bersifat paliatif yang dikelompokkan menjadi beberapa kategori yakni antimotilitas, adsorben, senyawa antisekresi, antibiotik, enzim, dan mikroflora usus. Adapun terapi ini adalah sebagai berikut. 
a. Antimotilitas → Salah satu contoh obatnya yakni Loperamide yang dapat diberikan dengan dosis 2 mg dalam bentuk kapsul. Loperamide diberikan dengan dosis awal 4 mg dan 2 mg setelah buang air besar. Penggunaan tidak boleh melebihi 16 mg sehari. 
b. Adsorben → Salah satu contoh obatnya yakni Kaolin-Pectin dengan dosis kaolin 5,7 gram dengan pectin 130,2 mg atau Kaolin-Pectin cair sebanyak 30 mL. Obat ini digunakan sebanyak 30 - 120 mL setelah buang air besar. 
c. Antisekresi → Salah satu contoh obatnya yakni Bismut subsalisilat dengan dosis 262 tablet kunyah. Obat ini diminum 2 tablet tiap 30 menit sampai 1 jam dengan maksimum dosis adalah 8 dosis setiap hari.
d. Enzim → Salah satu contonya yakni enzim laktase dengan dosis 1250 NU atau 4 tetes. Laktase diminum 3 sampai 4 tetes dengan susu atau produk susu. 
e. Mikroflora usus → Mikroflora usus yang bisa diberikan adalah Lactobaccilus acidophilus atau Lactobaccilus bulgariscus. Penggunaannya adalah 2 tablet atau 1 paket granul 3 kali atau 4 kali sehari dengan susu, jus, atau air. 
f. Octreotide → diberikan dengan dosis awal 50 mcg secara subkutan tiap 1 sampai 2 kali sehari. 
(DiPiro dkk., 2017)

2. Non-Farmakologi 
Terapi non-farmakologi adalah terapi dengan cara pendekatan tidak dengan obat-obatan. Pada kasus diare ini, terapi non-farmakologi yang dapat dilakukan sebagai berikut: 
a. Menghindari pemicu diare, seperti jika tidak dapat memetabolisme glukosa maka dapat mengonsumsi susu nabati seperti kedelai (Puspitasari, 2010).
b. Terapi rehidrasi oral: dapat diberikan oralit atau larutan gula garam yang mengandung NaCl 3,5 gram; glukosa 20 gram; NaHCO3 2,5 gram; dan KCl 1,5 gram. Terapi ini digunakan untuk mengoreksi kehilangan cairan dan elektrolit tubuh atau disebut dehidrasi (Pusmarani, 2019). 
c. Membiasakan cuci tangan sebelum makan, setelah BAB, dan lain sebagainya (Dyahariesti dkk., 2020). 
d. Mengonsumsi makanan yang bersih dan higienis (Dyahariesti dkk., 2020). e. Meningkatkan higienitas dan sanitasi diri serta lingkungan (Darusman, 2008). 
f. Tidak mengonsumsi makanan dalam keadaan mentah (Darusman, 2008). g. Mengonsumsi air yang direbus terlebih dahulu dan dipastikan bersih (Darusman, 2008). 

Diare adalah peningkatan frekuensi buang air besar sampai tiga kali atau lebih dalam sehari dan
konsitensi feses cair. Diare ini juga bisa terjadi pada wisatawan (travellers diare). Gejala lain dari
diare yaitu lemas karena kehilangan cairan dan elektrolit, nyeri perut, dan demam. Diare dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor lingkungan, personal, dan agent. Faktor
lingkungan bisa disebabkan karena destinasi wisata yang kotor, banyak sampah berserakan, dan
banyak lalat. Selain itu, bisa juga disebabkan oleh kebiasaan jajan sembarangan yang tidak sehat.
Faktor personal bisa disebabkan usia dewasa yang cenderung tidak menjaga makanan dan
kebiasaan cuci tangan sebelum makan. Sedangkan faktor agent terdiri dari virus, bakteri, parasit,
dan tropical sprue (gangguan pencernaan yang tiba-tiba, karena ada perbedaan kelembaban
sehingga bakteri mudah tumbuh, terjadi di negara berkembang/tropis). Diare dapat dicegah
dengan cara menerapkan cuci tangan yang baik dan benar, menjaga higienitas makanan dan alat
makan, menjaga kebersihan perorangan dan sarana umum, serta mengupas dan muncuci sayur
buah sebelum dikonsumsi. Cara mengatasi diare yaitu dengan menghindari faktor penyebabnya,
memperbanyak konsumsi air mineral, rehidrasi oral dengan ORS NaCl 3,5 kh, kcl 1,5 g, Na trisitrat
2,5 g, glukosa 20 g, air matang 1 l (oralit), mengkonsumsi probiotik (contoh: yoghurt) untuk
perbaikan konsistensi feses. Selain itu, diare juga dapat diatasi dengan mengkonsumsi larutan
gula garam. Larutan gula garam diberikan karena osmolaritasnya menyerupai cairan tubuh
sehingga lebih mudah diserap daripada air. Seseorang yang mengalami diare dapat segera
memeriksakan diri jika terdapat tanda-tanda dehidrasi, lemas, mata cekung.
Klasifikasi diare berdasarkan beberapa kategori:
1. Lama gejala: akut (<14 hari), persisten (14 hari), dan kronis (>14 hari).
2. Keparahan gejala: ringan, sedang, berat
3. Etiologi: infeksius (oleh bakteri E coli, rotavirus, dan parasit) dan non infeksius
4. Patofisiologi:
a. Sekretorik (sekresi zat perangsang, penurunan penyerapan air dan elektrolit → diberi
absorben seperti arang aktif)
b. Osmotik (zat yg terserap kurang baik, misal lactose intolerant, di usus banyak cairan)
c. Eksudatif (terdapat lendir, darah, busa pada feses, termasuk diare infeksius)
d. Travellers diare (peningkatan motilitas usus → antimotilitas: loperamid)


Komentar

Postingan Populer