Periklanan Obat
Iklan didefinisikan sebagai media promosi dan pengenalan bagi produk yang akan diproduksi atau dijual ke masyarakat. Menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat (6) menyebutkan : “Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang menangani”. Maraknya pelanggaran periklanan obat pada beberapa tahun belakangan ini harus menjadi perhatian baik bagi pemangku kebijakan, pengusaha, maupun seluruh lapisan masyarakat. Peningkatan pelanggaran periklanan obat dapat terjadi karena beberapa faktor, yakni:
Pelaku usaha yang mementingkan keuntungan dalam pemasaran produk, sehingga melakukan hal-hal yang memberikan keuntungan bagi pelaku usaha, seperti memberikan informasi yang berlebihan pada konsumen
Ketidakpahaman pelaku usaha dalam memahami peraturan yang mengatur periklanan
Adanya persaingan antar pelaku usaha. Hal ini dapat dikarenakan jika salah satu pelaku usaha melakukan pelanggaran dan tidak diberikan sanksi tegas, maka pengusaha lain akan melakukan hal yang sama
Konsumen kurang mengakses informasi terkait kejelasan produk. Sehingga hal ini dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk mengeksploitasi daya beli masyarakat
(Laila, K. 2017).
Menyikapi tingginya kasus pelanggaran terhadap regulasi periklanan obat tersebut, maka perlu dilakukan upaya untuk mencegah dan mengatasi permasalahan tersebut. Tidak hanya BPOM sebagai pembuat kebijakan, tetapi masyarakat sebagai konsumen dan farmasis sebagai tenaga kesehatan yang memiliki spesialisasi di bidang obat-obatan juga memiliki peran penting dalam pemecahan masalah ini. Upaya yang dapat dilakukan oleh BPOM, farmasis, dan masyarakat untuk mengatasi pelanggaran iklan obat dijabarkan sebagai berikut.
BPOM
Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan, BPOM bertanggung jawab dalam menyusun dan menyempurnakan regulasi terkait pengawasan obat dan makanan. Selain itu, BPOM juga bertugas mengembangkan sistem pengawasan, membuat pedoman untuk meningkatkan efektivitas pemasaran, pemberian bimbingan teknis supervisi, serta koordinasi pelaksanaan terkait pengawasan obat dan makanan dengan instansi terkait.
Farmasis
Menurut Yuningsih (2021), farmasis atau apoteker dapat membantu mengatasi kasus pelanggaran periklanan obat melalui upaya berikut.
Memberikan edukasi kepada masyarakat terkait obat yang beredar, kriteria iklan obat yang benar, dan iklan obat yang menyesatkan
Edukasi kepada masyarakat terkait cek KLIK (Kemasan, Label, Izin Edar, Kedaluwarsa) BPOM sebelum membeli/mengonsumsi obat
Tidak menjual obat yang tidak memiliki izin edar
Menyediakan platform baik secara luring maupun daring berupa situs untuk konseling.
Masyarakat
Menurut Yuningsih (2021), masyarakat sebagai konsumen dapat membantu mengatasi kasus pelanggaran periklanan obat melalui upaya berikut.
Meningkatkan kewaspadaan terhadap apotek atau toko obat yang ada secara daring agar membeli obat - obatan di apotek atau toko obat yang sudah terdaftar secara resmi.
Membeli obat-obatan dari sarana kefarmasian yang seharusnya digunakan untuk menjual obat yaitu apotek dan toko obat, yang memiliki penanggung jawab apoteker sehingga mengetahui tentang obat-obatan yang akan dijual.
Melaporkan pelanggaran atas iklan obat yang tidak sesuai ketentuan kepada Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan, atau BPOM.
Selain itu, masyarakat dapat dihimbau untuk meningkatkan kesadaran akan ciri-ciri obat yang sesuai dengan standar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) seperti apakah terdapat izin edarnya dan juga tidak mudah percaya dengan iklan yang banyak bermunculan di sosial media sebelum produk obat tersebut secara resmi tersedia di apotek apotek yang menjamin keamanan dari obat-obat yang dijual ke masyarakat. (Siahaan dkk, 2017)
Iklan obat dapat dipublikasikan jika memenuhi syarat dan kriteria yang tertera pada Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 2 Tahun 2021 tentang pedoman pengawasan periklanan obat. Syarat yang wajib dipenuhi antara lain:
Iklan berbahasa Indonesia
Penggunaan bahasa asing dan /atau bahasa daerah dapat digunakan dalam iklan sepanjang artinya dicantumkan dalam bahasa Indonesia
Istilah dalam bahasa asing dapat digunakan sepanjang tidak ada padanan kata dalam bahasa Indonesia
Iklan yang secara khusus disampaikan di suatu daerah tertentu atau ditujukan untuk konsumen daerah tertentu, iklan dapat menggunakan bahasa daerah tersebut.
Sementara itu, informasi yang disampaikan dalam iklan harus memenuhi sejumlah kriteria yang telah ditentukan BPOM Nomor 2 Tahun 2021. Kriteria tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
Harus bersifat objektif, yang berarti informasi yang disampaikan harus sesuai dengan fakta yang ada dan tidak boleh menyimpang dari karakteristik khasiat dan keamanan obat sesuai dengan penandaan terakhir yang telah disetujui.
Informasi yang diberikan harus lengkap, mencakup aspek-aspek seperti khasiat, keamanan, dan kualitas dari obat yang diiklankan.
Tidak boleh menyesatkan, yang berarti informasi yang diberikan tentang obat, termasuk sifat, harga, bahan, kualitas, komposisi, indikasi, atau keamanan, tidak boleh menciptakan gambaran atau persepsi yang menyesatkan.
Pesan yang tidak lengkap dalam iklan obat adalah bentuk informasi yang menyesatkan. Pentingnya informasi yang jelas dan lengkap diharapkan dapat melindungi konsumen dari kerugian yang diakibatkan oleh iklan-iklan yang mengandung unsur penyesatan dan penipuan. Terdapat banyak iklan obat yang menyesatkan dan tidak akurat dalam menggambarkan produk yang mereka promosikan. Beberapa iklan bahkan dengan sengaja menyembunyikan informasi penting tentang produk, yang jika diketahui oleh konsumen, mungkin membuat mereka enggan membeli atau menggunakan produk tersebut. Tindakan menyembunyikan informasi ini dapat dianggap sebagai iklan yang tidak jujur. Dalam beberapa kasus, konsekuensi dari tidak memberikan informasi yang lengkap ini bisa menjadi dampak negatif bagi konsumen, terutama jika mereka tidak menyadari adanya efek samping yang mungkin timbul akibat penggunaan produk tersebut. Berikut adalah dampak dari adanya pelanggaran periklanan obat:
Penggunaan yang berlebihan, lebih dari kebutuhan yang sebenarnya. Informasi yang tidak akurat atau menyesatkan dalam iklan obat, menggunakan obat dalam jumlah atau frekuensi yang tidak sesuai dengan kebutuhan kesehatan mereka dapat menyebabkan beberapa masalah kesehatan seperti overdosis, efek samping obat bahkan ketergantungan.
Penggunaan obat pada kondisi yang sebenarnya tidak memerlukan obat. Ketika iklan obat memberikan kesan bahwa obat tersebut diperlukan untuk suatu kondisi kesehatan, padahal sebenarnya kondisi tersebut dapat diatasi dengan cara lain yang lebih sederhana atau bahkan tidak memerlukan pengobatan sama sekali yang dapat membahayakan konsumen.
Pemilihan obat bebas yang keliru, ketika iklan obat memberikan informasi yang tidak akurat atau menyesatkan tentang suatu obat, sehingga konsumen dapat memahami obat tersebut dengan cara yang salah.
Penggunaan obat oleh orang yang sebenarnya tidak boleh menggunakannya. Ketika iklan obat memberikan pesan yang tidak akurat atau menyesatkan sehingga mendorong orang yang seharusnya tidak boleh menggunakan obat tersebut untuk melakukannya
Mengira efek samping suatu obat sebagai gejala penyakit lain. Ketika iklan obat tidak memberikan informasi yang cukup tentang efek samping yang mungkin timbul dari penggunaan obat tersebut, sehingga konsumen yang mengalami efek samping tersebut salah mengira bahwa mereka mengidap penyakit atau kondisi medis lainnya.
(Turisno, 2012)
Memicu perilaku konsumerisme
Konsep periklanan memiliki potensi untuk mendorong konsumen agar memperoleh produk yang sebenarnya tidak diperlukan oleh mereka. Bahkan, melalui pengaruhnya, periklanan dapat merangsang konsumen untuk mencoba produk-produk baru atau merek-merek yang baru muncul di pasar. Akibatnya, periklanan memiliki kemampuan untuk memacu pertumbuhan perilaku konsumerisme dalam masyarakat (Nugraha, 2016).
DAFTAR PUSTAKA
Adhe, W.H.S., Sudewi, S. and Lolo, W. A., 2017. Analisis bahan kimia obat sibutramin hcl pada jamu pelangsing yang beredar di kota manado. Pharmacon, 6(4), pp.75-81
Besmaya, B.M. and Laksono, S., 2023. Mekanisme Penghambat Sodium-Glukosa Transport Protein-2 (SGLT2-i) pada Penyakit Kardiovaskular: Sebuah Tinjauan. MPI (Media Pharmaceutica Indonesiana), 5(1), pp.71-85.
Husna, S. S. A., & Saly, J. N. (2021). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA OBAT PELANGSING “RD PELANGSING” TANPA IZIN EDAR (Studi Putusan Nomor: 142/Pid. Sus/2020/Pn. Ktn). Jurnal Hukum Adigama, 4(2), 4552-4575.
Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres RI). 2017. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat Dan Makanan. Jakarta.
Laila, K. (2017). Perlindungan hukum terhadap konsumen atas iklan yang melanggar tata cara periklanan. Jurnal Cakrawala Hukum, 8(1), 64-74.
Malonda, V. (2019). Ganti Rugi akibat Melakukan Pelanggaran dalam Promosi dan Periklanan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Lex Privatum, 6 (10).
Nugraha, A.R., 2016. Pengaruh Terpaan Iklan Obat Non Resep Dengan Sikap Masyarakat (Studi regresi sederhana mengenai terpaan iklan obat-obat non resep yang tayang pada televisi dengan sikap masyarakat terhadap keputusan pembelian). Jurnal Komunikasi, 10(2), pp.173-182.
Paryono, P., Lamsudin, R. and Dahlan, P., Phenylpropanolamine sebagai faktor risiko stroke perdarahan. Berkala NeuroSains, 15(2), pp.109-117.
Qothrunnadaa, T., & Zuhrotun, A. (2023). Regulasi pengawasan iklan obat tradisional yang berlaku di Indonesia. Journal of Pharmaceutical and Sciences, 6(3), 1248-1256.
Rahamis, D.C.A., Ratag, G.A. and Mayulu, N., 2014. Analisis Upaya-Upaya Penurunan Berat Badan pada Wanita Usia Produktif di Wilayah Kerja Puskesmas Wawonasa Kecamatan Singkil Manado. Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik, 2(2), pp.63-70.
Ramadhian, M.R., Pahmi, K. and Taupik, M., 2021. Aktivitas Diuresis Leucaena leucocephala. L Pada Mencit Jantan (Mus musculus). Journal Syifa Sciences and Clinical Research, 3(1), pp.19-28.
Rizkiyah, I. and Apsari, N.C., 2019. Strategi coping perempuan terhadap standarisasi cantik di masyarakat. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender, 18(2), pp.133-152.
Supardi, S., Handayani, R.S., Herman, M.J., Raharni, R. and Susyanty, A.L., 2011. Kebijakan periklanan obat dan obat tradisional di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 14(1), p.21256.
Sabalurien, F. R. (2018). Kecemasan Wanita Terhadap Obesitas. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 6(4), 560-567.
Siahaan, S., Usia, T., Pujiati, S., Tarigan, I.U., Murhandini, S., Isfandari, S. and Tiurdinawati, T., 2017. Pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat dalam memilih obat yang aman di tiga Provinsi di Indonesia. Jurnal Kefarmasian Indonesia, pp.136-145.
Turisno, B. E. (2012). Perlindungan konsumen dalam iklan obat. Masalah-Masalah Hukum, 41(1), 20-28.
Wyrzykowska, E., Mikolajczyk, A., Lynch, I., Jeliazkova, N., Kochev, N., Sarimveis, H., Doganis, P., Karatzas, P., Afantitis, A., Melagraki, G. and Serra, A., 2022. Representing and describing nanomaterials in predictive nanoinformatics. Nature Nanotechnology, 17(9), pp.924-932.
Yuningsih, R., 2021. Perlindungan Kesehatan Masyarakat Terhadap Peredaran Obat dan Makanan Daring. Aspirasi: Jurnal Masalah-masalah Sosial, 12(1), pp.47-62.
Komentar
Posting Komentar