MESO
Kasus
Indonesia termasuk negara yang rendah sistem farmakovigilans dan MESO (monitoring efek samping obat) secara global. "Indonesia termasuk kategori negara yang rendah dalam indikator pelaporan, kurang dari 10 ribu per tahun," kata kepala BPOM pada Maret 2023. Keamanan vaksin yang beredar di Indonesia terus dilakukan pemantauan secara intens. Tenaga kesehatan, masyarakat dan semua pihak yang terlibat dalam imunisasi dihimbau untuk berpartisipasi aktif dalam mengawal keamanan vaksin.
Sejak awal tahun 2021, program vaksinasi COVID-19 telah dimulai di berbagai daerah. Program tersebut melibatkan pemberian beberapa jenis vaksin COVID-19 seperti vaksin inaktif, subunit protein, berbasis messenger ribonucleic acid (mRNA), dan vaksin vektor. Vaksin COVID-19 berbasis mRNA juga menunjukkan beberapa efek samping ringan seperti nyeri atau kemerahan di tempat suntikan, kelelahan, demam, sakit kepala, mual atau muntah, nyeri dada, dan sesak napas. Selain itu, beberapa efek samping yang fatal seperti cedera ginjal akut, anemia, dan miokarditis telah dilaporkan. Dari jumlah tersebut, miokarditis adalah kondisi yang paling mengancam jiwa karena berhubungan dengan angka kematian yang tinggi (25%-56%).
Surat Kabar, 29 November 2021 - Selain itu, Menurut Komnas KIPI, ada 27 kasus kematian diduga akibat vaksinasi dengan Sinovac®. Namun setelah diperiksa lebih lanjut, kematian tersebut tidak terkait dengan vaksinasi. Kematian dalam kasus-kasus tersebut diakibatkan infeksi COVID-19 itu sendiri ataupun penyakit lainnya, seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, gangguan fungsi ginjal secara mendadak, serta diabetes mellitus dan hipertensi tidak terkontrol.
Rumusan Masalah
Faktor apa saja yang dapat menjadi penyebab rendahnya indikator pelaporan di Indonesia?
Apa tujuan dilakukannya monitoring efek samping obat?
Bagaimana langkah assessment dan pengkategorian efek samping obat?
Bagaimana alur dan persyaratan yang harus dilengkapi dalam pelaporan efek samping obat?
Bagaimana peran apoteker, industri farmasi, dan masyarakat dalam meningkatkan pelaporan dugaan efek samping obat diproses farmakovigilans suatu produk?
Pembahasan
Faktor yang dapat menjadi penyebab rendahnya indikator pelaporan efek samping obat di Indonesia.
Berbagai faktor dapat menjadi penyebab rendahnya indikator pelaporan efek samping obat di Indonesia terlampir sebagai berikut.
Minimnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang informasi efek samping obat. Dampaknya adalah sejumlah orang mungkin tidak menyadari bahwa gejala yang mereka alami dapat terkait dengan efek samping penggunaan obat tertentu (Sholihah & Santoso, 2021). Selain masyarakat, pengetahuan tenaga kesehatan termasuk apoteker yang bekerja di rumah sakit berkaitan pelaporan ADR dinilai masih rendah (Musdar dkk., 2021).
Keterbatasan jaringan internet dan kurangnya pemahaman terkait teknologi. Hal ini dapat menjadi hambatan serius dalam pengumpulan dan pelaporan informasi terkait efek samping obat di Indonesia, karena mempersulit akses tenaga kesehatan ke platform pelaporan kejadian efek samping obat secara online (Anjani et al, 2023).
Minimnya edukasi yang diberikan kepada masyarakat terkait pelaporan efek samping obat. Masyarakat perlu diberikan edukasi yang baik bahwa mereka dapat melaporkan efek samping obat kepada tenaga kesehatan atau fasilitas pelayanan kesehatan terdekat (Anjani et al, 2023). Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melaporkan kejadian efek samping yang mereka alami.
Keterbatasan waktu dan kapasitas apoteker untuk dapat melakukan pelaporan efek samping obat (Musdar dkk., 2021).
Efek samping yang diamati merupakan efek samping yang ringan atau umum terjadi sehingga terjadi ketidakyakinan apakah efek samping disebabkan oleh obat dan apakah perlu untuk dilaporkan (Musdar dkk., 2021).
Kurangnya kolaborasi antar tenaga kesehatan dapat mempengaruhi tingkat pelaporan efek samping obat. Menurut BPOM 2019, pelaporan efek samping obat dapat dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan. Oleh karena itu, tingkat kesadaran dan kolaborasi antar tenaga kesehatan sangat diperlukan (Musdar, dkk., 2021).
Kurangnya kesadaran profesional kesehatan dalam melakukan pelaporan (Hardini, dkk., 2021).
Kurangnya monitoring dan pemantauan pengobatan (Kudri, 2018).
Kurang teraturnya sistem pelaporan efek samping obat (Kudri, 2018).
Tujuan dilakukannya monitoring efek samping obat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Tujuan dilaksanakannya monitoring efek samping obat adalah sebagai berikut.
Menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang;
Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru saja ditemukan;
Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO;
Meminimalkan risiko kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki; dan
Mencegah terulangnya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki.
Sedangkan, tujuan kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit adalah sebagai berikut.
Mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ESO);
Mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko tinggi mengalami ESO;
Mengevaluasi laporan ESO dengan algoritma Naranjo;
Mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di Tim/Sub Komite/Tim Farmasi dan Terapi;
Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
Langkah assessment dan pengkategorian efek samping obat.
Analisis kausalitas diperlukan untuk melakukan assessment agar dapat menegakkan hubungan kausal antara kejadian efek samping dengan penggunaan obat oleh pasien. Analisis kausalitas dapat dilakukan menggunakan algoritma atau tool, seperti WHO-UMC atau Algoritma Naranjo.
WHO-UMC
Terdapat enam kategori kausalitas WHO-UMC, diantaranya adalah Certain (sangat pasti berhubungan dengan penggunaan obat), Likely (kemungkinan besar berhubungan dengan penggunaan obat), Possible (belum pasti berhubungan dengan penggunaan obat), Unlikely (kemungkinan besar tidak berhubungan dengan penggunaan obat), Conditional/Unclassified (bersyarat/tidak terklasifikasi), dan Unassessable/Unclassifiable (tidak dapat dinilai/tidak dapat diklasifikasikan). Kriteria penilaian untuk kategori Certain adalah terdapat kejadian tidak diinginkan (KTD) atau hasil laboratorium abnormal yang memiliki hubungan waktu dengan penggunaan obat, tidak bisa dijelaskan oleh penyakit atau obat lain, respon terhadap penghentian obat masuk akal secara farmakologis dan patologis, terdapat gangguan medis objektif dan spesifik, serta re-challenge positif. Kriteria penilaian untuk kategori Likely adalah terdapat kejadian tidak diinginkan (KTD) atau hasil laboratorium abnormal yang memiliki hubungan waktu dengan penggunaan obat, kemungkinan tidak disebabkan oleh penyakit atau obat lain, respon terhadap penghentian obat masuk akal secara klinis, serta tidak diperlukan re-challenge. Kriteria penilaian untuk kategori Possible adalah terdapat kejadian tidak diinginkan (KTD) atau hasil laboratorium abnormal yang memiliki hubungan waktu dengan penggunaan obat, mungkin disebabkan oleh penyakit atau obat lain, serta informasi mengenai penghentian obat kurang atau tidak jelas. Kriteria penilaian untuk kategori Unlikely adalah suatu KTD atau hasil laboratorium abnormal mustahil memiliki hubungan dengan penggunaan obat (tetapi bukan tidak mungkin) dan penyakit atau obat lain mungkin menyebabkan KTD ini. Kriteria penilaian untuk kategori Conditional/Unclassified adalah terdapat kelainan uji laboratorium, diperlukan lebih banyak data untuk penilaian yang tepat, serta diperlukan data dan pemeriksaan lanjutan. Kriteria penilaian untuk kategori Unassessable/Unclassifiable adalah laporan mengenai KTD tidak dapat dinilai karena informasi tidak mencukupi atau bertentangan serta data tidak dapat ditambahkan atau diverifikasi. Langkah assessment atau diagram alir penilaian kausalitas terlampir pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Diagram Alir Penilaian Kausalitas WHO-UMC
(BPOM, 2022).
Algoritma Naranjo
Berdasarkan Pedoman Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Bagi Tenaga Kesehatan yang diterbitkan BPOM RI tahun 2012, untuk mengevaluasi kemungkinan kausalitas antara penggunaan obat dan munculnya efek samping dapat digunakan algoritma Naranjo yang terdiri atas 10 pertanyaan.
Setelah skor total didapatkan, skala probabilitas Naranjo pun dapat ditentukan.
Alur dan persyaratan yang harus dilengkapi dalam pelaporan efek samping obat.
Alur yang dapat dilakukan untuk melaporkan adanya efek samping obat dapat secara online maupun offline.
Alur pelaporan ESO secara online yaitu:
Kunjungi web browser https://e-meso.pom.go.id
Klik ADR Online
Lakukan sign in atau klik register apabila belum memiliki akun dan isi kolom registrasi. Kemudian klik register
Sistem akan mengirimkan email konfirmasi ke alamat email yang dimasukkan ketika registrasi dan tunggu registrasi disetujui oleh admin BPOM.
Lakukan input data
Pedoman pelaporan ESO secara online dapat diunduh melalui https://e-meso.pom.go.id/adrreport2/file/ADR_Report_Manual_Book_v3.pdf. Untuk alur pelaporan ESO secara offline yaitu:
Unduh formulir kuning pada web browser https://e-meso.pom.go.id
Kirim laporan ke:
Pusat Farmakovigilans/MESO Nasional
Direktorat Pengawasan Keamanan, Mutu, dan Ekspor Impor Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif
Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif
Badan Pengawas Obat dan Makanan
Jl. Percetakan Negara No.23 Jakarta 10560
Gedung F Timur Lantai 5
Telp. (021) 4244691 ext 1079
(BPOM, 2019).
Alur dan syarat pelaporan efek samping vaksin
Alur pelaporan efek samping yang berlangsung lama atau berkelanjutan usai menerima vaksin dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.
Akses website https://keamananvaksin.kemkes.go.id/index.php/public/pelaporan
Klik opsi “pelaporan mandiri”.
Setelah laman “Layanan Pelaporan Mandiri” muncul, isi data pasien dan data pelapor secara lengkap serta unggah berkas pendukung, meliputi foto pasien.
Data pasien yang perlu diisi meliputi,
Nama Lengkap Pasien
Jenis kelamin
Tanggal Lahir
No. HP/Telepon yang dapat dihubungi
Nama Ibu
Nama Ayah
Provinsi
Kabupaten/Kota
Kecamatan
Desa/kelurahan
Alamat
Gejala/Indikasi
Data pelapor yang perlu diisi meliputi,
Instansi
Nama Instansi
Nama Pelapor
No. HP/Telepon yang dapat dihubungi
Provinsi
Kabupaten/Kota
Kecamatan
Desa/kelurahan
Deskripsi Kejadian (Tuliskan Nama Vaksin, Jenis Vaksin & Kronologis)
Klik opsi “kirim” untuk mengirimkan laporan.
(Kemenkes RI, 2019).
Ketika melaporkan reaksi yang tidak diharapkan /reaksi yang merugikan yang dicurigai, pemegang izin edar dan/tenaga profesional kesehatan hendaknya memberikan seluruh informasi yang ada untuk setiap kasus individu yang secara lengkap dimuat dalam form kuning pada Lampiran I.
Peran apoteker, industri farmasi, dan masyarakat dalam meningkatkan pelaporan dugaan efek samping obat diproses farmakovigilans suatu produk.
Peran Apoteker
Mengidentifikasi pasien, penilaian, penelitian dalam memberikan rujukan dan pemantauan sistem pelaporan efek samping obat (Rahmawati et al., 2023).
Mendeteksi, mencatat kejadian, melakukan penilaian kausalitas dan melaporkan kejadian yang diduga akibat penggunaan obat (BPOM, 2020).
Memberikan edukasi dan pengetahuan mengenai pelaporan efek samping obat kepada tenaga kesehatan lainnya (Rahmawati et al., 2023).
Mengedukasi pasien agar menginformasikan kepada tenaga profesional kesehatan jika diduga mengalami kejadian yang tidak diinginkan terkait penggunaan obat (BPOM, 2020).
Meningkatkan pengetahuan dan kualitas pelaporan apoteker terkait efek samping obat (Musdar dkk., 2021).
Apoteker di rumah sakit dapat melakukan pelatihan pelaporan efek samping obat (Musdar dkk., 2021).
Menetapkan SOP yang jelas agar dapat tercapai pelaporan yang efektif dan efisien sehingga segala laporan yang masuk dapat dilaporkan serta didokumentasikan dengan baik (Musdar dkk., 2021).
Memfasilitasi sarana dan prasarana pelaporan efek samping obat baik secara online maupun secara offline (Musdar dkk., 2021).
Menyampaikan informasi pelaporan secepat mungkin kepada pusat farmakovigilans baik di provinsi maupun nasional menggunakan formulir kuning dan sistem pelaporan daring/online (BPOM, 2020).
Melakukan sosialisasi hasil analisis laporan MESO secara berkala kepada sejawat medis agar dapat mengurangi kejadian ESO (Hardini, dkk., 2021).
Peran Industri Farmasi
Industri membangun sistem farmakovigilans di industri farmasi serta melakukan penunjukan penanggung jawab dan back up penanggung jawab farmakovigilans yang bertanggung jawab penuh atas aktivitas farmakovigilans(BPOM, 2020).
Melakukan pemantauan, pengumpulan, penilaian, dan pelaporan masalah keamanan produk (BPOM, 2020).
Industri farmasi harus menerapkan farmakovigilans secara efektif sehingga kegiatan farmakovigilans dapat secara signifikan mengawal keamanan obat, serta menyediakan informasi yang valid untuk pembaharuan profil manfaat dan resiko obat beredar (BPOM, 2022).
Industri farmasi dalam menerapkan farmakovigilans harus melakukan pelaporan kepada Pusat Farmakovigilans/MESO Nasional dalam rangka pemantauan dan pengumpulan informasi khasiat dan keamanan obat selama beredar (BPOM, 2022).
Memastikan sistem farmakovigilans terintegrasi dengan sistem manajemen kualitas pada industri farmasi (BPOM, 2022).
Peran Masyarakat
Mematuhi pengobatan yang sudah ditentukan (BPOM, 2020).
Melaporkan kejadian yang tidak diinginkan kepada tenaga profesional kesehatan (BPOM, 2020).
Memberikan informasi selengkap-lengkapnya, sesuai dengan yang dibutuhkan untuk dapat melakukan analisis (BPOM, 2020).
Daftar Pustaka
Anjani, B.L.P., Rahmawati, C., Furqoni, N., Nurbaety, B., Wahid, A.R., Hati, M.P., Gunawan, P.G.S. and Pradiningsih, A., 2023. Edukasi Kejadian Efek Samping Obat Pada Masyarakat di Dusun Mapong Desa Jurang Jaler, Lombok Tengah. SELAPARANG: Jurnal Pengabdian Masyarakat Berkemajuan, 7(2), pp.1351-1355.
BPOM RI. 2012. Pedoman Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Badan POM RI.
BPOM. 2019. Farmakovigilans (Keamanan Obat) Panduan Deteksi Dan Pelaporan Efek Samping Obat Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: BPOM.
BPOM. 2020. Modul Farmakovigilans Dasar Project For Ensuring Drug and Food Safety. Jakarta: BPOM.
BPOM. 2022. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 15 Tahun 2022 tentang Farmakovigilans. Jakarta: BPOM.
Elidya, A., Nasser, G., Dhanu, I., Himayani, R., & Ismunandar, H. (2021). Vaksin corona virus disease 2019. Medical Profession Journal of Lampung, 11(1), 141-144.
Gabriella, A., Amir, Y., & Utami, S. (2022). Gambaran Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Vaksinasi Covid-19 pada Remaja. Jurnal Vokasi Keperawatan (JVK), 5(2), 119-127.
Hardini, D.K., Widiarti, S.W. and Lumongga, S., ANALISIS KUANTITATIF DAN KUALITATIF EFEK SAMPING OBAT DI RS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA PERIODE JANUARI–JUNI 2021.
KBBI. 2023. https://kbbi.web.id/ diakses pada tanggal 26 November 2023.
Kementrian Kesehatan. 2023. Mengenal Apa Itu Miokarditis [Online] https://shorturl.at/nryOQ diakses pada 28 November 2023).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Layanan Pelaporan Mandiri. [Online] (https://keamananvaksin.kemkes.go.id/index.php/public/pelaporan, diakses pada 26 November 2023).
Kepmenkes. 2021. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Hipertensi Dewasa. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Luft FC. 2021. Biomarkers and Predicting Acute Kidney Injury. Acta Physiol. 231:e13479.
Musdar, T. A., Nadhafi, M. T., Lestiono, L., Lichijati, L., Athiyah, U., & Nita, Y. (2021). Faktor yang Mempengaruhi Praktik Pelaporan Adverse Drug Reactions (ADRs) oleh Apoteker di Beberapa Rumah Sakit di Surabaya. JPSCR: Journal of Pharmaceutical Science and Clinical Research, 6(2), 96-110.
PERKENI. 2021. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia. Jakarta: PERKENI.
Pradiningsih, A., Nopitasari, B.L., Qiyaam, N., Adikusuma, W., Safwan, S., Rahmawati, C., Anjani, B.L.P., Aisy, R. and Ningsih, R.W., 2023. EDUKASI EFEK SAMPING OBAT MELALUI KAJIAN FARMAKOVIGILANS PADA MASYARAKAT DI KOTA MATARAM. SELAPARANG: Jurnal Pengabdian Masyarakat Berkemajuan, 7(3), pp.1666-1670.
Rahmawati, F., SWP, F.A., and Antoni, F., 2023. PENGETAHUAN APOTEKER TERHADAP PELAPORAN EFEK SAMPING. Journal Pharmacy Aisyah, 2(1), pp.46-55.
Sholihah, I. and Santoso, J., 2021. Upaya Peningkatan Pengetahuan tentang Efek Samping Obat pada Warga Dasa Wisma dalam Upaya Penerapan Farmakovigilans. PaKMas: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(2), pp.142-146.
Wang K, Xie S, Xiao K, et al. 2018. Biomarkers of Sepsis-Induced Acute Kidney Injury. BioMed Research International. Article ID 6937947, https://doi.org/10.1155/2018/6937947
WHO. 2023. Corona Virus Disease (Covid-19). [Online] https://www.who.int/health-topics/coronavirus#tab=tab_1
Komentar
Posting Komentar