Peredaran Obat

Kasus

Semakin majunya teknologi berbasis internet menyebabkan perubahan kebiasaan masyarakat dalam berbagai bidang termasuk dalam bidang kesehatan. Menggunakan aplikasi pembelian obat secara online/ daring menjadi pilihan banyak orang karena sistemnya yang mudah dan pasien tidak perlu repot keluar rumah untuk mendapatkan obat, suplemen dan kosmetika yang diinginkan. [31 Mei 2023] Subdit Industri dan Perdagangan (Indag) Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya membongkar peredaran obat palsu hingga obat daftar Golongan G senilai Rp 130,4 miliar. Diketahui bahwa obat-obatan tersebut dijual bebas di toko online. "Di sini kami tekankan ada dua online shop yang sudah positif menjual suplemen palsu yaitu di Tok*pedia dengan nama akun “APKI” dan di La*ada dengan nama akun “DASH”," kata Kasubdit Indag Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. "Mereka melakukan kegiatan ini hasil pemeriksaan kami dari bulan Maret 2021 sampai dengan kemarin bulan Mei 2023. Yang diduga nilai barang tersebut dari tahun 2021 sampai 2023 itu lebih kurang Rp 130,4 miliar," jelasnya. Dalam kasus ini, polisi berhasil menyita 77.061 obat yang terdiri dari berbagai jenis dan merk. Di antaranya 16 botol Interlac palsu, 350 Ventolin Inhaler tanpa izin edar, 2.180 obat salep, serta 74.515 butir obat, terdiri dari tramadol HCl, trihexyphenidyl, alprazolam, lorazepam, hexymer dan dekstrometorfan. [08 Juni 2023] Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan aparat hukum terus memburu penjual obat ilegal. Sasaran mereka kali ini adalah para pedagang yang berjualan di lapak online. Operasi siber yang dilakukan secara intensif akhirnya berhasil menjerat pemilik akun “PKAT” yang berjualan di Shop*e. Pemilik akun berjualan di Shop*e selama setahun terakhir. Dia diketahui memiliki volume penjualan lebih dari 10.000 paket. Nilai ekonomi penjualannya lebih dari Rp 18 miliar. Dari TKP, tim menemukan dan menyita sejumlah barang bukti sediaan farmasi ilegal berupa obat, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan ilegal. Yang tidak memiliki izin edar sebanyak 700 item atau 22.552 buah. "Barang bukti yang diamankan ditaksir memiliki nilai keekonomian Rp 10 miliar,” paparnya


Rumusan masalah

  1. Apa saja faktor yang menyebabkan tingginya tingkat peredaran obat secara online di masyarakat?

  2. Bagaimana peran apoteker, regulator, industri farmasi, dan masyarakat dalam mengatasi peredaran obat palsu?

  3. Apa saja kriteria obat yang harus ditarik dari peredaran?  Serta bagaimana alur penarikan obat yang beredar secara online sesuai dengan ketentuan yang berlaku?

  4. Apa saja dampak peredaran obat palsu bagi masyarakat dan industri farmasi yang memproduksi obat tersebut? 

  5. Bagaimana tindak lanjut setelah dilakukan penarikan dari peredaran obat palsu?


Pembahasan

  1. Faktor yang Menyebabkan Tingginya Tingkat Peredaran Obat Palsu Secara Online di Masyarakat

Salah satu faktor penyebab maraknya peredaran obat palsu di Indonesia adalah karena tingginya permintaan dari masyarakat sendiri. Kondisi ekonomi yang sulit diduga menjadi alasan mengapa masyarakat memilih jenis yang murah meskipun kualitasnya belum jelas. Tingginya permintaan masyarakat akan produk medis khususnya obat-obatan yang murah haruslah diimbangi dengan ketersediaan obat yang tinggi pula. Selama pemerintah masih belum mampu menyediakan obat-obatan yang aman dan terjangkau, masyarakat akan terus berada pada lingkaran peredaran obat palsu yang membahayakan kesehatan dan dapat mengancam nyawa 

Lemahnya pengaturan hukum dan pengawasan terhadap jalur masuk obat palsu dapat menjadi alasan lain tingginya tingkat peredaran obat palsu. Indonesia belum memiliki Undang-undang khusus berkaitan dengan pemalsuan obat. Penegakan hukum terhadap pelaku pemalsuan obat hanya dikenai dengan undang-Undang Kesehatan atau Undang-Undang perlindungan Konsumen. Hal ini mengakibatkan para penegak hukum terhambat untuk menuntut para pelaku pemalsuan obat ke pengadilan. Akibatnya, pelaku pengedar obat palsu dapat tetap lolos dari jerat hukum dan upaya pemberantasan terhadap pemalsuan obat menjadi sulit dilakukan. Selain kondisi lemahnya penegakan hukum, terdapat permasalahan terhambatnya masalah pengawasan terhadap jalur masuk obat-obatan ilegal. Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas dan rawan terhadap banyaknya jalur masuk barang-barang ilegal yang berasal dari luar, salah satunya melalui daring. Pengawasan yang ketat terhadap perbatasan merupakan tanggung jawab kepolisian dan bea cukai untuk obatan palsu. Selama ini, BPOM Indonesia hanya melakukan kerja sama dengan kepolisian saja dan belum melakukan kerja sama dengan bea cukai. Padahal, kerja sama ini sangatlah penting mengingat bea cukai adalah instansi pemerintah yang memiliki yurisdiksi di jalur-jalur kemungkinan masuknya obat palsu maupun ilegal.

Kondisi pasokan obat yang rendah atau menentu secara langsung akan mengakibatkan ketersediaannya terbatas di suatu negara. Dalam kondisi ini, konsumen akan cenderung mencari obat alternatif. Situasi ini juga menjadi celah untuk mendorong penjahat menyelundupkan obat-obatan atau memproduksi obat-obatan palsu serta mendistribusikannya sebagai pengganti obat-obatan asli. Harga yang murah menjadi dan ketersediaannya yang melimpah menjadi kesempatan bagi produsen illegal untuk menarik minat masyarakat. Dalam kondisi ini, masyarakat cenderung tidak waspada sehingga mudah tertipu dengan penampilan dari obat palsu yang dinilai sangat mirip dengan obat asli. Obat merupakan kebutuhan primer yang wajib dipastikan ketersediaannya dalam suatu negara. Negara harus mampu memfasilitasi produksi mandiri untuk menghasilkan obat dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat.  Perusahaan farmasi saat ini banyak bergerak pada pembuatan obat jadi, yang bahan bakunya harus didatangkan dari negara lain. Kurang lebih sebanyak 90 persen bahan baku obat berasal dari luar negeri (Hosnesty et al., 2017). 

  1. Peran Apoteker, Regulator, Industri Farmasi, dan Masyarakat dalam Mengatasi Peredaran Obat Palsu

    1. Peran Regulator

Regulator, pemerintah dan BPOM, dapat mengeluarkan peraturan yang dapat mendukung penegakan hukum terhadap peredaran obat palsu. Peraturan yang baru dikeluarkan secara spesifik membahas mengenai pengawasan obat dan makanan secara daring adalah Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan secara Daring. Pasal 7 menyebutkan bahwa peredaran obat secara daring hanya dapat dilakukan untuk obat yang termasuk ke dalam obat bebas, obat bebas terbatas, dan obat keras. Selanjutnya, peredaran obat keras diatur lebih lanjut pada pasal 8 dimana obat keras yang diserahkan kepada pasien secara daring wajib berdasarkan resep yang ditulis secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain ditulis secara elektronik, untuk penyerahan golongan obat keras juga dilaksanakan dengan mengunggah resep ke dalam sistem elektronik. Resep tersebut harus asli dan dapat dipertanggungjawabkan. Adapun teknis penyerahan obat yang diedarkan secara daring dapat dilaksanakan secara langsung kepada pasien atau dikirim kepada pasien secara mandiri oleh apotek atau bekerja sama dengan pihak ketiga yang berbentuk berbadan hukum seperti jasa pengiriman oleh ojek daring. Penyerahan resep asli obat keras dilaksanakan bersamaan dengan penyerahan obat keras oleh apotek atau melalui pihak ketiga kepada pasien. Pasal 11 menyebutkan bahwa seluruh data informasi transaksi elektronik yang terkait dengan kegiatan peredaran obat secara daring wajib diarsipkan dan mampu tertelusur paling singkat dalam batas waktu lima tahun. Selain itu, Pasal 31 Peraturan BPOM tersebut menyebutkan bahwa peredaran obat dan pangan olahan untuk keperluan medis khusus (PKMK) secara daring dilarang melalui media sosial, daily deals, dan classified Ads. Peraturan ini secara tegas melarang peredaran obat dan makanan PKMK melalui media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan lainnya. Dengan kata lain, peredaran obat dan makanan PKMK melalui media sosial merupakan ilegal. Landasan hukum masih perlu diperkuat untuk dapat menindak tegas peredaran obat illegal sehingga diperlukan peran regulator untuk dapat menghasilkan peraturan-peraturan penunjang dalam pelaksanaan pengawasan peredaran obat (Yuningsih, 2021). 


  1. Peran Masyarakat

Pengawasan oleh regulator tetap terbatas dimana perkembangan dunia maya yang semakin pesat dan luas secara langsung berdampak pada sulitnya pengawasan. Regulator memiliki sumber daya yang sangat terbatas dalam mengawasi jutaan akun yang melakukan penjualan yang tersebar di berbagai platform e-commerce dan juga media sosial. Perangkat pengawasan dalam dunia maya tidak sebanding dengan tingginya minat masyarakat terhadap peredaran obat dan makanan secara daring. Terlebih peredaran secara daring tidak mengenal batas geografi wilayah dan dapat mencakup seluruh dunia.  Oleh karena itu, pengawasan obat dan makanan secara daring tidak hanya bergantung pada peran pemerintah saja khususnya BPOM, tapi juga harus didukung kesadaran para pelaku usaha dan peran serta masyarakat sebagai konsumen. Masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap produk obat dan makanan dengan selalu mengecek informasi tanggal produksi, tanggal kadaluarsa, logo obat, izin edar BPOM atau izin pangan industri rumah tangga dari dinas kesehatan, komponen kandungan, kontraindikasi, dan lainnya. masyarakat juga turut berperan serta dalam mengawasi peredaran obat dan makanan secara daring. Masyarakat juga perlu berperan dalam  melaporkan kepada pihak lokapasar maupun BPOM mengenai produk obat dan makanan yang tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan, penggunaan gambar yang tidak pantas, dan penyertaan testimoni yang berlebihan (Yuningsih, 2021).


  1.  Peran Apoteker

Apoteker sebagai organisasi profesi yang juga merupakan bagian dari masyarakat tentunya berperan dalam peredaran obat dan makanan daring. Apoteker dapat menjembatani kebijakan publik kepada para apoteker dan membina apoteker agar kompetensi dapat sejalan dengan perkembangan peredaran obat dan makanan yang juga tersebar secara daring. Apoteker dapat menyebarkan media promosi untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat misalnya melalui media cetak, menggunakan media spanduk yang dipasang di tiap RT/RW, fasilitas pelayanan kesehatan, sekolah, pasar, dan fasilitas umum lainnya. Kompetensi apoteker dalam peredaran obat dan makanan secara daring belum didukung oleh standar pelayanan kefarmasian yang mengatur mekanisme dan sistem peredaran obat secara daring. Kebutuhan akan standar pelayanan yang detail akan menjadi pedoman dalam berpraktik dan dapat menghilangkan keraguan apoteker untuk mendukung peredaran obat dan makanan secara daring yang sesuai dengan ketentuan peraturan (Yuningsih, 2021). Apoteker juga perlu memberi sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat untuk membeli obat di fasilitas pelayanan obat yang legal sehingga dapat terjamin keamanan dan mutu dari obat yang diterima masyarakat (Ayunda et al., 2023).

  1. Kriteria Obat yang Dilakukan Penarikan dan Alur Penarikan Obat yang Beredar Secara Online Sesuai dengan Ketentuan yang Berlaku

Kriteria obat yang dilakukan penarikan menurut BPOM (2022) terdiri dari 3 kelas yaitu kelas I, kelas II dan kelas III yang diuraikan sebagai berikut.

  1. Penarikan Obat Kelas I

Obat yang apabila digunakan dapat mengakibatkan kematian, cacat permanen, cacat janin, atau efek yang serius terhadap kesehatan. 

  1. Penarikan Obat Kelas II

Obat yang apabila digunakan dapat mengakibatkan penyakit atau pengobatan keliru yang menimbulkan efek sementara bagi kesehatan dan dapat pulih kembali.

  1. Penarikan Obat Kelas III

Obat yang tidak menimbulkan bahaya signifikan terhadap kesehatan dan tidak termasuk dalam Penarikan Obat kelas I dan Penarikan Obat kelas II. Contoh: Obat dengan kemasan yang salah tetapi tidak terkait dengan jaminan keamanan, khasiat, dan/atau mutu.

Peredaran obat palsu perlu dilakukan penarikan agar tidak terus menyebar keberadaannya yang dapat berakibat fatal bagi penggunanya. Mekanisme penarikan obat dibagi menjadi dua, yaitu mekanisme penarikan wajib dan mekanisme penarikan mandiri. Tahapan alur mekanisme penarikan wajib adalah sebagai berikut. 

  1. BPOM menerima laporan Obat yang tidak memenuhi standar.

  2. BPOM melakukan kajian risiko terhadap laporan dan mengkomunikasikan kepada Pemilik Izin.

  3. BPOM meminta klarifikasi terhadap laporan Obat kepada Pemilik Izin.

  4. Kepala Badan menerbitkan Instruksi Penarikan yang tidak memenuhi standar.

  5. Pemilik Izin memberikan laporan awal, berkala, dan akhir pelaksanaan Penarikan Obat kepada BPOM.

  6. BPOM melakukan evaluasi terhadap laporan pelaksanaan Penarikan Obat

  7. Pemilik izin melakukan dan melaporkan pelaksanaan Pemusnahan Obat.

  8. BPOM memberikan tanggapan terhadap laporan Pemusnahan Obat dari Industri Farmasi dengan tembusan kepada UPT BPOM setempat.

Adapun tahapan mekanisme penarikan mandiri adalah sebagai berikut.

  1. Pemilik Izin menginformasikan rencana Penarikan Obat yang tidak memenuhi standar.

  2. BPOM mengevaluasi rencana Penarikan Obat yang tidak memenuhi standar dan menerbitkan surat tanggapan kepada Pemilik Izin dengan tembusan ke UPT BPOM terkait.  

  3. Pemilik Izin memberikan laporan awal, berkala, dan akhir pelaksanaan Penarikan Obat kepada BPOM.

  4. BPOM melakukan evaluasi terhadap laporan pelaksanaan Penarikan Obat.

  5. Pemilik Izin memusnahkan Obat yang tidak memenuhi standar disaksikan oleh petugas BPOM setempat dan melaporkan hasilnya ke BPOM tembusan UPT BPOM di lokasi industri farmasi berada dan lokasi pemusnahan.

  6. BPOM memberi tanggapan terhadap laporan Pemusnahan Obat yang tidak memenuhi standar dengan tembusan kepada UPT BPOM setempat.

(BPOM, 2022)


  1. Dampak Peredaran Obat Palsu bagi Masyarakat dan Industri Farmasi yang Memproduksi Obat Tersebut

Dampak peredaran obat palsu bagi masyarakat dan industri farmasi adalah sebagai berikut.

  1. Dalam Lingkup Masyarakat

  1. Dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan seperti kondisi pasien tidak membaik, penyakit pasien bertambah parah, kegagalan terapi, reaksi alergi, resistensi bakteri penyakit terhadap obat untuk penggunaan antibiotik, dan kematian (Suryoputri, 2018). 

  2. Obat ilegal berpotensi tidak aman, karena tidak ada penilaian objektif dan ilmiah dari para ahli atau lembaga yang berkompeten, sehingga kemanjuran dan keamanannya pun tak terjamin (Suryoputri, 2018). 

  1. Dalam Lingkup Industri Farmasi

  1. Kerugian secara finansial bagi industri obat. Hal ini dikarenakan menurunnya keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan industri farmasi karena barang-barang ataupun produk yang seharusnya dijual oleh industri farmasi asli tersebut terbagi dengan beredarnya produk palsu yang ada di pasaran. (Pranata et al., 2021)

  2. Pemalsuan obat dapat menimbulkan suatu persaingan yang tidak sehat. Suatu industri farmasi dapat meniru produk industri lain, dalam hal memproduksi hingga memasarakannya tanpa izin edar dan sertifikat CPOTB (Andrianto, 2022).

  3. Adanya obat palsu membuat masyarakat akan berpikir ulang untuk menggunakan atau mengkonsumsi obat tersebut, dan dikhawatirkan memengaruhi citra buruk obat yang telah diproduksi industri farmasi (Andrianto, 2022).

  1. Tindak Lanjut Setelah Dilakukan Penarikan dari Peredaran Obat Palsu

Setelah melalui proses penarikan dari peredaran, obat yang telah yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat, mutu, dan label akan ditindaklanjuti dengan proses pemusnahan. Menurut PerBPOM Nomor 14 Tahun 2022 Tentang Penarikan dan Pemusnahan Obat yang Tidak Memenuhi Standar dan/atau Persyaratan Keamanan, Khasiat, Mutu, dan Label, pemusnahan adalah Pemusnahan adalah suatu tindakan perusakan dan pelenyapan terhadap obat, bahan obat, kemasan, label dan/atau brosur yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat, mutu, dan label sehingga tidak dapat digunakan lagi. Pemusnahan harus dilakukan dengan tidak menimbulkan penurunan kesehatan bagi manusia dan tidak mencemari lingkungan. 

Berdasarkan PerBPOM Nomor 14 Tahun 2022 Bab IV Pasal 26-27, industri farmasi yang akan melakukan pemusnahan obat harus mengikuti ketentuan berikut.

  1. Pemusnahan obat harus diawasi oleh Pengawas, yaitu pegawai di lingkungan BPOM yang diberi tugas untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan penarikan dan pemusnahan obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat, mutu, dan label.

  2. Pemilik Izin atau industri farmasi harus menyusun berita acara pemusnahan obat yang setidaknya memuat informasi berikut:

  1. Hari, tanggal, dan tempat/lokasi pemusnahan

  2. Pemilik Izin

  3. Saksi Pengawas

  4. Pihak yang memusnahkan (jika ada)

  5. Saksi lainnya (jika ada)

  6. Nama obat

  7. Bentuk sediaan

  8. Nomor izin edar, nomor EUA dan/atau nomor persetujuan special access scheme

  9. Jumlah obat

  10. Nomor bets

  11. Cara pemusnahan

  12. Nama dan tanda tangan Pemilik Izin, Pengawas, pihak yang memusnahkan (jika ada), dan saksi lainnya (jika ada).

  1. Pemilik Izin atau industri farmasi harus melaporkan pelaksanaan pemusnahan kepada Kepala BPOM secara elektronik dan/atau non elektronik dengan menyertakan berita acara dan dokumentasi visual berupa foto atau rekaman video pelaksanaan pemusnahan obat.


Daftar Pustaka

Andrianto, F. (2022). Implikasi Hukum Terhadap Peredaran Obat Herbal Palsu Ditinjau Dari Prespektif Hukum Persaingan Usaha. El-Iqthisady: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, 132-145.

Ayunda, T. S., Prastiwi, M., Maheswari, A. I., Tampake, D., Andriani, D., Pide, G. L., & Sukorini, A. I. (2023). Pengetahuan tentang Legalitas Obat dan Tindakan Pembelian Obat secara Online untuk COVID-19. Jurnal Farmasi Komunitas Vol, 10(1), 34-38.

BPOM RI, 2018. Peraturan BPOM Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Obat dan Makanan. Jakarta : BPOM RI

BPOM RI, 2020. Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan Secara Daring. Jakarta : BPOM RI

BPOM RI, 2022. Peraturan BPOM Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penarikan dan Pemusnahan Obat yang Tidak Memenuhi Standar dan/atau Persyaratan Keamanan, Khasiat, Mutu, dan Label. Jakarta : BPOM RI

BPOM RI, 2022. Peraturan BPOM Nomor 19 Tahun 2022 tentang Pedoman Klaim Suplemen Kesehatan. Jakarta : BPOM RI.

Dayani, E., & Adiana, S. (2023). Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan Ketepatan Penggunaan Inhaler Pasien Asma Rawat Jalan Di Rumah Sakit X Periode Februari-Maret 2023. Indonesian Journal of Health Science, 3(1), 52–59.

Depkes RI. 2009. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

George TT, Tripp J. 2023. Alprazolam. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.

Hijawati. 2020. Peredaran Obat Illegal Ditinjau Dari Hukum Perlindungan Konsumen, Solusi, 18(3): 394-406.

Honesty, A. S., Windiani, R., & Hanura, M. 2017. 13. Upaya Indonesia dalam Menangani Pemalsuan Obat melalui Member State Mechanism Tahun 2012-2016. Journal of International Relations, 3(1), 123-130.

KBBI. 2023. Ekonomi. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ekonomi Diakses 29 Oktober 2023.

KBBI. 2023. Lapak. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/lapak Diakses 29 Oktober 2023.

KBBI. 2023. Siber. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/siber Diakses 29 Oktober 2023.

KBBI. 2023. Taksir. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/taksir Diakses 29 Oktober 2023.

KBBI. 2023. TKP. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/tkp Diakses 29 Oktober 2023.

Kemenkumham. 2021. Aparat Penegak Hukum (APH). https://bapasjaksel.kemenkumham.go.id/glosarium/aparat-penegak-hukum/ Diakses 30 Oktober 2023

Menkes. (2008). Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1120/Menkes/Per/XI/2008 tentang Registrasi Obat. Jakarta: Menteri Kesehatan

Muhlis, L.N., Muhadar, M. and Mirzana, H.A., 2021. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Peredaran Kosmetik Illegal di Kota Makassar. PETITUM, 9(2), pp.161-170.

Pranata, D. and Oktalina, G., 2021. Analisis Du Pont System Dalam Menilai Kinerja Keuangan Pada Perusahaan Farmasi Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2015-2019. Jurnal Akuntansi Bisnis Dan Keuangan, 8(1), pp.29-35.

Presiden RI. 1998. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. Jakarta : Depkes RI

Rahim, F., Nasir, S., Palutturi, S. and Sarumi, R., Penyalahgunaan obat-obat golongan G pada Geng Motor remaja di Kota Makassar Sulawesi Selatan. J-Healt. 3(2)

Republik Indonesia. (2009). Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta: Republik Indonesia.

Suryoputri, M. W. 2018. Peningkatan Pengetahuan Kader PKK Terkait Obat Palsu Melalui Edukasi Apoteker di Desa Pliken, Banyumas. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(12), 1067-1070.

Utami, A., & Herwastoeti, H. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Penjualan Obat-Obatan Ilegal Secara Online. Klausula (Jurnal Hukum Tata Negara, Hukum Adminitrasi, Pidana Dan Perdata), 1(2), 93-116.

William, D., 2022, Peredaran Obat Palsu Ditinjau dari Hukum Kesehatan dan Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik. In Bandung Conference Series: Law Studies, 2(1), 286-291

Yuningsih, R., 2021. Perlindungan Kesehatan Masyarakat Terhadap Peredaran Obat dan Kosmetik Daring. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 12(1), 47-62.

Komentar

Postingan Populer